[Story] Dari Balik Jendela

by - 4:16 PM


DARI BALIK JENDELA

dibuat untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
published for fun :p
happy reading!

Sepasang bola mata obsidian mengintip dari balik selimut. Mengerjap. Berusaha menyesuaikan dengan pancaran sinar matahari pagi yang baru saja masuk setelah terdengar suara tergesernya gorden jendela. Mengedip dua kali, dan menemukan sesosok wajah yang sudah sangat ia kenal berada beberapa meter dari kasur. Menatap ke luar jendela, menghirup udara pagi. 

Sang gadis kecil beringsut bangun. Rambut pendek kecoklatannya mencuat kemana-mana. Tak peduli, ia hanya menguap pelan dan mengucek mata. 

“Ma?” 

Wanita paruh baya di depan jendela spontan menoleh. Mengalihkan pandangan dari jendela, tersenyum manis pada buah hatinya yang terlihat masih setengah sadar. Ia segera beranjak dan duduk di samping tempat tidur gadis kecilnya, mengecup dahi sebagai ucapan selamat pagi. 

“Bagaimana tidurnya, sayang?” 

“Umm...” 

Hanya dibalas dengan gumaman tak jelas. Bocah itu sepertinya benar-benar belum sadar sepenuhnya. Tersenyum maklum, sang ibu mengusap kepala anaknya itu, merapikan helai-helai rambut yang kurang rapi. 

“Mama ambilkan sarapan dulu. Tunggu sebentar ya,” 

Mengangguk kecil. Sang ibu akhirnya bangkit dan beranjak ke luar kamar. Menutup pintu dengan hati-hati sebelum akhirnya hilang dari pandangan. Hening. Gadis kecil itu mengerjap lagi. Hampir sepenuhnya sadar. Udara pagi yang segar berhembus dari balik jendela –memainkan rambutnya. Menyegarkan paru-parunya. Bocah itu mengalihkan pandangan ke jendela. Mendadak tersenyum lebar ketika melihat matahari bersinar dengan cerahnya di balik sana. 

Saljunya sudah hilang! 

Binar antusias terpancar dari dua bola mata hitam bulatnya. Secepat mungkin turun dari tempat tidur dan melangkah ke arah jendela. Kedua tangan mungilnya menempel pada kaca jendela yang setengah terbuka –membawa diri sedekat mungkin dengan halaman luar. 

Fay namanya. Yang sekarang sedang menikmati hembusan halus angin pagi yang menggelitik kulit wajahnya. Mama bilang, yang kurang lebih 3 bulan menutupi rumput, pohon, dan rumah Zia di balik jendela itu namanya salju. Katanya turun dari langit. Entahlah, Fay tidak mengerti. Belum pernah menyentuh dengan langsung butiran-butiran kecil itu. 

Satu yang tak Fay suka dari musim dingin –halamannya jadi sepi. Fay tak bisa melihat bunga warna-warni yang biasanya tumbuh di dekat pagar. Atau binatang-binatang kecil yang lalu-lalang. Tak ada lagi yang bisa ia lihat dari balik jendela –dan itu membuat Fay hanya bisa bergelung di dalam selimut hangat. Membosankan. 

Bola mata Fay tak bisa berhenti mengikuti seekor tupai bolak-balik melintasi halamannya. Bahkan ketika ibunya telah kembali ke kamar dengan membawa satu nampan berisi semangkuk bubur panas. Wanita paruh baya itu meletakkan nampan di atas meja dan beranjak mendekati buah hatinya. 

“Fay, mama bawakan bubur. Makan dulu, yuk?” 

Walaupun enggan, gadis kecil itu akhirnya mengikuti tarikan halus ibunya dan melangkah menjauhi jendela. Duduk di pinggir kasur menghadap ke arah meja. Aroma dari bubur hangat yang tersaji menggelitik indera penciumannya. 

“Fay, jaketmu yang satu lapis lagi kemana?” 

“Hm?” teralih dari semangkuk bubur yang sudah tinggal setengah di hadapannya. Gadis kecil itu menoleh. “Nggak tahu. Dari kemarin aku pakai ini kok..” 

Gurat kecemasan terpancar dari wajah sang ibu. “Tapi harusnya ada satu lapis lagi..” dengan segera wanita itu beranjak keluar dari kamar, dan kembali dua menit kemudian. Sebuah jaket woll berwarna krem lembut tergenggam di tangannya. Dengan hati-hati ia memasangkan pakaian tersebut kepada Fay. 

“Maafkan mama. Kamu pasti kedinginan..” 

Namun Fay hanya menggeleng. “Nggak kok,” 

“Tapi kamu nggak boleh kedinginan, sayang..” Wanita itu mengancingkan jaket woll tersebut. “Lain kali kalau mama lupa lagi, kamu ingatkan ya, oke?” 

Sang gadis kecil mengangguk dan tersenyum lebar, disambut dengan senyuman hangat dari sang ibu. Dielusnya pucuk kepala putrinya itu dengan sayang –sementara yang bersangkutan sudah asyik kembali menyendok bubur yang masih setengah mangkuk di hadapannya. 

“Habis ini jangan lupa minum obat ya, Fay..” 

-------------------

Pagi beranjak siang. Fay menghela napas pelan. Dari atas tempat tidur, menerawang ke luar dari jendela yang terbuka. Binar bola matanya perlahan meredup. Mamanya memang sangat baik. Namun ada satu keinginan yang tak pernah dituruti olehnya –Fay tak pernah boleh melangkahkan kaki ke luar. Walaupun tahu hijaunya rerumputan, warna-warni bunga yang bertebaran, lucunya suara Zia saat menggonggong kecil menyambutnya dari balik jendela, tapi hanya sebatas itu. Fay selalu penasaran tekstur ‘karpet hijau’ halamannya. Haluskah? Kasar? Dingin? Atau seberapa wangi bunga-bungaan yang bertebaran di sana. Seberapa lembut bulu Zia. 

Atau satu yang lebih jauh –Fay selalu ingin tahu ada apa di balik pagar kayu bercat putih rumahnya. 

Perhatian Fay sedikit teralihkan ketika mendengar gonggongan Zia dari luar, terus menerus selama beberapa menit. Ini aneh. Fay mengerinyitkan dahi. Menegakkan badan, mencoba melihat ke luar jendela dari posisi duduknya. 

Dan sebuah wajah menyembul dari balik jendela. Tersenyum lebar. 

“Hai,” 

Fay mengerjap. 

Siapa? 

Sosok misterius dari balik jendela itu menggaruk belakang kepalanya –salah tingkah. Butuh beberapa menit bagi Fay untuk menghilangkan rasa kagetnya. Berganti dengan penasaran. Gadis kecil itu perlahan turun dari kasurnya dan melangkah ke arah jendela. 

Bocah laki-laki di balik jendela itu mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar. 

“Rio.” 

Disambut dengan takut-takut oleh sang tuan rumah. Fay agak bergidik ketika menjabat tangan Rio. Dingin. Mungkin mamanya benar –ia harus tetap mengenakan jaket hingga beberapa minggu lagi, ketika suhu udara sudah mulai menghangat sepenuhnya. 

“Kamu.. Siapa?” 

“Aku? Rio.” Bocah laki-laki dengan rambut seputih salju itu memiringkan kepalanya. Bingung. Rasanya ia sudah menyebutkan nama tadi. Apakah kurang terdengar? 

“Bukan..” Fay menggelengkan kepalanya. Rambut kecoklatannya bergoyang pelan. “Kenapa muncul di balik jendela kamarku?” 

Seringai jenaka muncul menghiasi wajah pucat Rio. Menarik kedua pipinya yang berbintik merah. “Rumahku di seberang. Aku cuma mau mengajakmu main. Mau?” 

Lagi-lagi Fay mengerjap tak mengerti. Main? Fay tak pernah bertemu teman sebaya sebelumnya. Mamanya memutuskan agar ia home schooling –seorang ibu-ibu gemuk yang ramah akan datang untuk mengajarinya membaca dua minggu sekali. Itu mengapa Fay tak menangkap maksud Rio yang mengajaknya bermain. 

“Main apa?” 

“Banyak!” binar antusias terpancar dari dua bola mata biru si bocah laki-laki. “Kejar-kejaran, petak umpet, hulahoop, sepak bola..” ia mencoba mengingat permainan yang seringkali ia mainkan bersama dengan teman-temannya di sekolah. “Pokoknya banyak!” 

Sifat ingin tahu Fay mau tak mau membuat gadis kecil itu tertarik. Dengan semangat ia mengangguk, menyambut ajakan Rio. Seringai lebar lagi-lagi mampir di wajah bocah laki-laki itu melihat keantusiasan gadis kecil di hadapannya. “Ayo keluar, aku tunggu kamu di depan pintu.” 

Eh, keluar? 

Dan binar semangat di mata sang gadis kecil redup seketika. Senyumnya memudar. Rio yang menyadari perubahan mimik wajah Fay mengerjap bingung. 

“Ada apa?” 

“Aku nggak bisa keluar..” 

“Kenapa?” 

“Kata mama nggak boleh. Kalau aku main dari sini aja, gimana?” 

Rio menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. Bagaimana bisa? Ia tak pernah membayangkan bagaimana cara bermain sepak bola dengan lawan yang dibatasi oleh jendela. Atau petak umpet. Atau apapun. Melihat sikap Rio yang tak menyanggupi permintaannya, senyum gadis kecil itu kini benar-benar pudar. Wajahnya menyiratkan kekecewaan. 

“Yah, nggak bisa ya..” 

Hanya dibalas oleh senyum kecil dari si bocah laki-laki. Rio tak enak juga –wajah Fay terlihat hampir menangis sekarang. Ia melirikkan bola mata salah tingkah. “Eh.. Tapi tenang saja. Besok aku main ke sini lagi kok,” 

“..benar?” 

Melihat sedikit perubahan dari wajah mungil Fay, Rio mengangguk dengan cepat. 

“Pasti.” 

Sebuah senyum manis akhirnya menghiasi wajah sang gadis kecil. Lega. 

“Aku pulang dulu.. Ah, aku lupa. Namamu siapa?” 

Tersenyum sangat lebar –sampai kedua mata gadis kecil itu menyipit lucu. Meraih tangan kanan Rio dan menjabatnya sekali lagi. 

“Fay. Salam kenal, Rio.” 

--------------------

Mulai hari itu, Fay mempunyai satu kegiatan rutin yang baru. Setiap pukul sembilan pagi, ia akan keluar kamar sebentar dan mengendap-endap keluar kamar. Menemukan mamanya sedang sibuk melakukan sesuatu, ia akan cepat-cepat kembali dan menutup pintu. Entahlah, tapi Fay punya firasat kalau mamanya tak perlu tahu tentang teman barunya. Ia kemudian membawa kursi ke dekat jendela dan duduk di sana, memandangi halaman sambil menanti kedatangan Rio. Seperti hari ini. 

Fay dan Rio mengobrol tentang apa saja. Rio selalu menceritakan hal-hal yang Fay tak pernah tahu. Bocah itu pernah bercerita tentang kebiasaannya di sekolah. Makan siang bersama, bermain bersama, belajar bersama. Fay tak pernah bosan mendengar cerita-cerita Rio. Ceritanya tentang zeppelin, sebuah balon raksasa yang bisa dinaiki manusia. Atau UFO yang pernah mendarat di halaman rumah Rio. Apa saja. 

“Katanya, bunga-bungaan itu wangi ya?” 

Fay menangkupkan tangan di kusen jendela dan meletakkan dagu di atasnya. Menunggu jawaban dengan ingin tahu. 

“Tentu saja. Kamu nggak pernah mencium bunga-bungaan?” 

Fay menggeleng polos. “Wanginya seperti apa?” 

“Seperti…” Rio menggaruk pelipisnya bingung. Bagaimana cara menggambarkannya ya? Bocah itu mengedarkan pandangan –dan tersenyum senang sejurus kemudian ketika melihat serumpun bunga-bungaan tumbuh di sudut halaman. Dengan segera ia beranjak dan memetik satu tangkai bunga berwarna biru, kemudian menyodorkannya ke depan Fay. 

Gadis kecil itu mendekat ingin tahu. Menarik napasnya dalam-dalam tepat di atas bunga yang dipegang oleh Rio. Indera penciumannya bisa menangkap sebuah aroma lain yang belum ia kenal. Fay tersenyum senang. Ternyata benar. Wangi. Mencoba merasakan aromanya lebih jauh, ia terus mendekatkan wajah dan menarik napas sekali lagi. Sesuatu terasa menggelitik di dalam hidungnya. Sampai..— 

“H—hatsyi!” 

“Ups,” Rio serta merta menjauhkan bunga itu dari jangkauan hidung Fay. Nyengir melihat gadis kecil di hadapannya sibuk mengusap hidungnya yang gatal. Kuncir dua Fay bergerak-gerak lucu. 

“Hati-hati. serbuk bunganya sudah masuk ke dalam hidungmu.” 

Fay membalas cengiran Rio. Keduanya tertawa bersama. Melanjutkan bercerita satu sama lain hingga waktu ‘kunjungan’ Rio hampir habis. Bocah itu harus segera kembali ke rumahnya –lagipula sebentar lagi waktu makan siang dan ibu Fay akan datang. Sebelum berpamitan, Rio menyerahkan bunga biru yang masih ada dalam genggamannya. 

“Buatmu. Mungkin kau masih penasaran wanginya. Jangan dekat-dekat ya, nanti serbuk sarinya masuk lagi—” —Fay menyeringai kecil dan mengangguk mengiyakan. “Simpan baik-baik ya. Dah!” 

--------------------------

“Hap. Yak. Hati-hati, Fay..” 

Fay memejamkan mata. Mungkin ini adalah hal yang paling nekat yang berani dilakukan olehnya sepanjang hidup. Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya, berusaha menghilangkan rasa khawatir dan gugup yang terus mengusik. Ia mencengkram pergelangan tangan Rio dengan erat. 

Ia kini duduk di kusen jendela –dengan kaki telanjang yang menggantung ke luar. Udara sudah mulai hangat, tak sedingin seminggu yang lalu. Fay pernah mengutarakan keinginannya untuk pergi ke luar suatu hari, lengkap dengan larangan mamanya yang bertolak belakang dengan keinginannya tersebut. Rio hanya menanggapi dengan main-main, ‘kenapa nggak coba keluar dari jendela saja?’ 

Namun ternyata, Fay menanggapi saran tersebut dengan antusias. Diikuti dengan binar penuh harap pada Rio, memintanya untuk membantu. Yang bersangkutan hanya bisa menyanggupi pasrah –ia tak bisa menolak permintaan Fay, walaupun itu sama saja membantu seseorang melanggar aturan. Sibuk menyalahkan diri sendiri mengapa harus mencetuskan ide keluar-rumah-dari-jendela-kamar itu. 

Rio sudah stand by di bawah –walaupun jarak antara jendela dan rumput halaman tidak sampai setengah meter, ia masih harus bertanggung jawab atas keselamatan gadis kecil itu. Bagaimanapun, Rio pasti akan menjadi salah satu oknum yang bersalah kalau sampai terjadi apa-apa. 

“Ayo. Mau turun? Aku jaga kok,” 

Rio membentangkan kedua tangannya. Fay memainkan kedua bola matanya gelisah. Sudah sampai sini.. Mengumpulkan segenap keberanian, gadis kecil itu menarik napas panjang dan menutup mata. Mencengkram pergelangan tangan Rio dengan lebih kencang dan membawa diri untuk turun ke bawah. 

Rerumputan menyambut telapak kaki telanjang Fay. 

Perasaan lega membuncah. Fay tak bisa menahan senyuman lebarnya. Kedua bola matanya berbinar senang. Melihat ke bawah, gadis kecil itu memainkan jemari kakinya. Merasakan sentuhan rerumputan yang selama bertahun-tahun hanya bisa ia lihat. Menghirup udara segar musim semi. Fay menurunkan tubuhnya, berjongkok. Kini meraba rerumputan dengan telapak tangannya. Bocah itu terkikik geli merasakan sensasi aneh yang menggelitik telapaknya. Jadi begini, tekstur rerumputan. 

Rio mengedarkan pandangan. Fay harus melihat hal lain yang jauh lebih menyenangkan daripada sekedar rerumputan. Kedua bola mata sapphire milik Rio bergerak lincah menyapu seluruh isi halaman. Cengiran lebar terpampang di wajahnya ketika ia melihat seekor tupai sedang berdiri tak jauh darinya. Hendak beranjak untuk menangkap tupai tersebut, namun tertahan oleh genggaman tangan Fay. Rio menoleh. 

“Mau kemana?” 

“Ambil tupai. Kamu pasti belum pernah lihat dari dekat, kan?” 

Namun Fay menggeleng pelan. Ia beranjak berdiri –tetap tak melepaskan genggamannya. “Nggak usah. Aku sudah senang kok, akhirnya bisa pegang rumput yang dari dulu cuma bisa aku lihat..” senyum manis menghiasi wajah gadis kecil itu. 

“Tapi sepertinya nggak bisa lebih jauh lagi. Kan aku kabur. Kalau ketahuan mama gimana..” 

Rio menggaruk pipi dengan telunjuknya. Mengurungkan niat untuk menangkap tupai yang sampai sekarang masih makan dengan tenang di tempatnya. “Oke..” 

“Bisa tolong aku buat memanjat kembali ke kamar?” 

Rio mengangguk. Ia menepuk-nepukkan tangan untuk menghilangkan debu dan menangkupkan keduanya di tembok bagian bawah jendela, membuat pijakan bagi Fay untuk membantunya naik ke atas. 

“Ayo,” 

Fay tersenyum, membisikkan terimakasih pada Rio sebelum meletakkan kaki telanjangnya ke tangkupan tangan bocah itu. Dengan hati-hati Rio mengangkat tubuh Fay hingga ia bisa duduk di jendela kamarnya kembali. Sebelum menghilang ke dalam, Fay menolehkan kepala ke luar sekali lagi dan melambaikan tangan ke arah Rio di bawah. 

“Makasih, Rio.” 

Bocah laki-laki itu mengangguk dan pamit undur diri. berbalik badan dan berlari kecil untuk pulang. Senyuman tulus masih menghiasi wajah Fay, yang mengamati punggung Rio hingga bocah itu menghilang di kejauhan. Satu lagi rasa penasarannya terhapuskan. Menghela napas pelan, gadis kecil itu menyebrangkan kedua kakinya ke dalam ruangan dan melompat turun dari jendela. 

“Fay…” 

Dan menemukan sesosok wanita yang ia sangat kenali sudah menunggu di atas kasur. Kedua bola matanya meredup. Kecewa. Bertanya. 

----------------------

Fay memainkan ujung selimutnya. Bibirnya mengerucut. Melihat sekali lagi pada ibunya yang masih juga fokus dengan majalah di tangan. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah jendela yang tertutup. Biasanya Rio sedang ada di sana. Becanda dengan Fay. Tapi kini yang ada hanya jendela yang tertutup gorden biru. Mama melarang Fay untuk membukanya –entahlah, mungkin takut Fay akan kabur lagi. 

“Ma, Fay mau buka jendela… Boleh?” 

Entah suara Fay yang terlalu kecil atau bagaimana, namun yang diajak berbicara tidak sedikitpun mengalihkan pandangan dari majalahnya. 

“Ma…” 

Kemudian akhirnya menurunkan buku dan menghela napas panjang. Menatap kedua mata bulat putrinya yang masih merajuk. “Mama nggak tahu sayang..” 

Fay mengalihkan pandangan. Kini mengamati selimut di genggaman tangannya yang semakin mengusut. Menyembunyikan kornea matanya yang mulai berkaca. “Fay nggak bakal keluar lagi kok, Fay janji..” 

Sang Ibu akhirnya mengalah. Ia bangkit dari duduknya dan tersenyum pada Fay. “Iya, iya. Jangan sedih, sayang.. Kita buka jendela bareng-bareng, yuk?” 

Fay perlahan mengangkat wajah, mengusap air mata yang sempat mengalir di pipinya yang kemerahan. Berhenti menangis. Matanya sembab. Tapi langsung beringsut turun, melangkahkan kaki setengah berlari menuju jendela. Mamanya segera mengikuti. Mengerutkan kening tapi memilih untuk tidak bertanya. 

Gadis kecil itu mencengkram ujung gorden dengan erat. Menutup mata. Tanpa sadar berdoa dalam hati – 

—semoga Rio ada di balik sana. 

Srek. 

Kosong. 

Fay terdiam. Kedua bola matanya spontan menyapu seluruh halaman. Mencari. 

Kosong. 

Bocah itu melongokkan kepala ke luar, melihat ke ujung-ujung halaman. Mungkin Rio bersembunyi. Mungkin Rio sedang bermain petak umpet. 

Tidak ada. 

Fay bisa merasakan wajahnya memanas. Segera dihapusnya bulir air mata yang hampir menetes. Membasahi pipinya lagi. Rio nggak ada. Kemana? Biasanya Rio selalu nunggu Fay di depan jendela. Kenapa sekarang nggak ada? Entah, Fay tak bisa mengartikan reaksinya sendiri ketika tidak menemukan Rio di balik sana. Fay masih terlalu kecil untuk merasakan kekecewaan. Takut. Khawatir. Satu yang ia tahu, Rio tak ada di sana. 

Apa Rio marah sama Fay? 

“Fay, ada apa sayang?” 

Tetapi hanya menggeleng –lagi. Fay tak bisa cerita tentang Rio ke ibunya. Akhirnya gadis kecil itu sebisa mungkin menahan tangisnya. Mengusap air mata, tersenyum sekilas dan melangkah kembali ke kasur. Menelungkupkan diri di balik selimut. 

Fay mau main lagi sama Rio.. 

Sekarang Fay takut. Takut Rio marah pada dirinya. Takut Rio tak mau mengajak Fay main lagi. Kalau nggak ada Rio, Fay mau main sama siapa..? 

Fay nggak mau sendirian lagi.. 

“Fay..” 

Gadis kecil itu merasakan sentuhan di bahunya dari balik selimut. Mengalihkan perhatian. Fay menoleh sejenak –tanpa mengeluarkan diri dari selimut yang membungkus tubuhnya. Masih sesenggukan. 

“Sayang, coba buka selimutnya sebentar..” 

Namun Fay malah menggenggam kain yang menyelimuti tubuhnya itu dengan lebih kencang dan menggeleng. Mamanya merupakan salah satu faktor utama mengapa Rio tak muncul di jendela –wanita itulah yang melarang Fay membuka gorden. Fay nggak suka. 

“Sayang..” 

Menggeleng lagi. Menutup mata. Meringkuk lebih erat. 

“Fay?” 

Eh? 

Spontan gadis kecil itu membuka mata dan mengerutkan kening. Yang tadi bukan suara mamanya. Telinganya jelas bisa membedakan. Itu suara... 

Fay menunggu. Kali ini terdiam. Memasang indera pendengaran dengan awas. 

“Fay…” 

Suara itu lagi. Kini tangisan Fay benar-benar berhenti sepenuhnya. Fay kenal suara itu. Dengan ragu menyingkap selimut yang menutupi indera pengelihatannya. Bisa saja itu suara lain dari mama Fay, kan? 

Tetapi bukan. Di samping kasur, berdiri dengan manisnya. Sebelah mama. Bocah sebaya dengan rambut seputih salju, wajah pucat dan pipi yang berbintik merah. Kedua bola mata Fay yang masih sembab spontan melebar, mengenali sosok yang sedang melambai kecil ke arahnya itu. 

“Rio!” 

----------------------

Sensasi menggelitik itu lagi. Fay tertawa senang, memainkan jari jemari kakinya yang telanjang, langsung menyentuh rerumputan. Kedua matanya yang masih sembab kini menyipit, seiring dengan senyuman yang sangat lebar. Sang Ibu berdiri di sebelahnya, menggandeng tangan Fay sambil tersenyum kecil melihat antusiasme putrinya itu. 

Mulanya wanita itu kaget sekaligus heran ketika kemarin melihat ke teras dan menemukan sesosok anak kecil berambut putih duduk membelakangi pintu depan –entah sudah dari kapan ada di sana. Mendengar suara pintu yang dibuka, bocah itu lantas menoleh dan menghambur ke arahnya. Memperkenalkan diri dengan buru-buru, dan tiba-tiba minta maaf. Mengaku kalau dirinya lah yang membuat Fay nekat keluar lewat jendela. 

“Tolong jangan hukum Fay, aku yang salah..” bocah itu menangkupkan tangan di depan dirinya. Sedikit berkaca-kaca. 

Dan mengertilah sang ibu. Mengapa Fay bersikeras untuk membuka gorden, dan bereaksi aneh ketika menemukan tak ada apa-apa ketika ia membuka gorden tersebut. Fay hanya mencari Rio. Wanita itu kemudian berasumsi kalau selama ini –entah sejak kapan—Fay bermain dengan Rio. Entah bagaimana cara mereka berkenalan, ia tak tahu. Dan sepertinya Fay juga tak ingin dirinya tahu, entah karena apa. 

Tetapi ia tak perlu khawatir lagi. Fay hanya butuh teman sebaya.. 

Setengah jam berlalu. Fay lelah bermain. Ia menjatuhkan diri di atas rerumputan. Rio duduk di sebelahnya. Terdiam selama beberapa saat, mengatur napas masing-masing –dengan cengiran yang masih juga belum beranjak dari wajah keduanya. 

“Di balik sana, ada apa?” 

Rio menoleh, mengikuti arah tunjuk Fay. Memandang pagar putih yang membatasi halaman tersebut dengan jalan raya. 

“Ada.. Rumah, orang banyak, supermarket, taman, sekolah, gunung..” 

“Benar?” kedua bola mata Fay membulat kagum. Ia belum pernah melihat semua itu secara langsung. Bangga mempunyai kawan seperti Rio yang sepertinya tahu segalanya. Mendadak mendapat ide lagi, Fay langsung bangun dari duduknya dan berlari kecil mendekati pagar. 

“Rio!” panggilnya. Melambaikan tangan mungilnya ke arah Rio yang masih duduk di tengah halaman. Cengiran jenaka tersungging di wajah gadis kecil itu. “Aku mau lihat ke luar. Ayo bantu!” 

Terbelalak selama beberapa detik. Rio spontan menyilangkan tangannya di depan dada tanda tak setuju. “E –eh, kata mamamu kamu nggak boleh keluar dari halaman!” 

Di ujung sana, Fay menggeleng dengan semangat. Rambut kuncir duanya bergoyang-goyang lucu. “Aku nggak mau keluar kok. Cuma mau lihat. Ayo!” 

“Benar ya?” Rio mengangkat sebelah alisnya sangsi, namun tetap bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati Fay yang mengangguk sejelas mungkin untuk meyakinkan. 

Bocah laki-laki itu menangkupkan tangannya di dekat pagar, persis seperti ketika ia membantu Fay naik ke jendela kamarnya. Fay meletakkan sebelah kakinya yang telanjang ke tangkupan tangan Rio, sambil berpegangan pada bahu temannya itu. Perlahan Rio menegakkan diri hingga Fay bisa meraih bagian atas dari pagar putih halaman. Terus mengangkat Fay ke atas, hingga akhirnya dua bola mata obsidian gadis kecil itu bisa mengintip ke balik pagar. 

Terpana. Terpesona. 

Fay tak bisa mengekspresikan perasaannya. Kedua bola mata gadis kecil itu berbinar. Senang bukan main, sekaligus kagum dan tak percaya. Bertahun-tahun ia hanya melihat dunia luar dari kotak dengan gambar bergerak di ruang tengah di rumah, tanpa pernah melihat secara langsung. Fay kini bisa melihat rumah-rumah yang berjejer sepanjang jalan, mobil yang lalu lalang. Trotoar dipenuhi orang-orang lalu lalang. Gunung yang membentang di balik kesemuanya. Baru kali ini gadis kecil itu memandang dunia seluas itu. Tidak hanya sekedar dongeng. Bukan hanya sekedar gambar yang bergerak. 

Ingin rasanya Fay melompat keluar pagar —mendekati segala macam yang ada di luar sana. Tapi ia tahu, mama pasti tak akan suka. Fay mengerti, kok. Mungkin tunggu beberapa tahun lagi, Fay juga pasti akan dibolehkan keluar walaupun tidak sendiri. 

Fay meminta Rio menurunkan dirinya. Tersenyum lebar pada teman satu-satunya itu, lantas memeluknya erat. Kalau tidak bertemu Rio, Fay mungkin sekarang masih mendekam di dalam kamar. Melihat ke luar jendela tanpa tahu apa yang sebenarnya ada di balik sana. Tetap buta akan dunia luar. 

Mungkin sekarang Fay hanya dapat melihat dari jauh. Namun kini, rasa keingintahuan gadis kecil itu tumbuh bukan main pesatnya. Ia tak sabar untuk bertanya tentang apa saja yang ia lihat di luar sana. Mungkin mulai sekarang Fay bisa lebih sering memerhatikan TV –walaupun tak mengerti apa yang dibicarakan, tetapi setidaknya dapat ‘melihat’ lebih jauh. Lebih luas. 

“Rio! Ceritakan lagi tentang UFO yang mendarat di halaman rumahmu.” 

Fay. Gadis kecil yang –dengan segala keterbatasannya, tak akan pernah menyerah untuk terus melihat dunia di balik jendela kamarnya. 

You May Also Like

0 comments