Lilin, Lampion, Api yang Kelewat Besar, dan Tanda Tanya.

by - 7:04 PM


ah, akhirnya. ada mood juga buat nulis. dari kemaren mau ngepost tapi kelewat mulu........

kali ini pengen cerita tentang ; JITU DKM Ar-Rahmah ; Selasa, 23 Agustus 2011

kenapa JITU? saya juga nggak tahu. kelas XII nyebutnya gitu :p

---

Kami -kelas X--makan dengan lebih cepat waktu itu. Dituntut untuk keluar ruangan dan berkumpul sementara yang lain masih sibuk makan dan mengobrol di dalam. XII IPA 6. Beberapa bahkan merelakan diri untuk menahan rasa lapar dan memilih untuk menyiapkan segala macam yang harus disiapkan.

Tap.

Pats.

Lampu lapangan dimatikan. Gelap. Pria berbaju kuning itu berkeliling ke setiap ruangan di lantai bawah dan mematikan setiap sumber cahaya yang menyala. Satu persatu cahaya mulai meredup, hingga akhirnya tersisa satu ruangan yang masih ramai dan terang benderang. Satu ruangan dimana semua orang berkumpul di sana.

Dua sosok datang dengan terburu-buru dari arah mushola. Di tangan salah satunya tergenggam sebuah buku tulis hijau. Menghela napas, mereka berjalan mendekati kami -mengangguk tanda siap.

14 orang berbaris di tengah lapangan, mendengarkan instruksi dari satu orang di depan mereka. Dalam gelap, memfokuskan arah pandang dan menajamkan indra pendengaran ke satu titik. 14 pasang mata itu memperhatikan dengan seksama -berusaha mengerti dan berharap tidak membuat kesalahan untuk beberapa menit ke depan. 

"Gitu, pada ngerti?"

Kepala-kepala itu mengangguk perlahan.

"Mae, do'a dulu."

Dan suasana hening. Masing-masing menundukkan kepala. Memfokuskan pikiran. Kami telah menyiapkan yang terbaik sebisa kami. Tinggal Yang Di Atas lah yang menentukan beberapa menit ke depan.

Kedua kaki itu berlari kecil menuju pintu kelas yang masih menyala. Memberi isyarat pada yang berjaga di depannya bahwa semua telah siap. Sang penjaga mengangguk mengerti -kemudian berbalik badan. Perlahan membuka pintu di hadapannya dan memadamkan lampu -satu-satunya sumber penerangan yang masih menyala di jajarannya.

"Assalamualaikum Wr. Wb. A, Teh, dipersilahkan untuk keluar ke lapangan. Terimakasih."

Bismillah.

Belasan -mungkin puluhan sosok perlahan keluar dari ruangan itu. Berdiri menghadap 11 orang yang telah berdiri di tengah lapangan -dengan dua lilin yang tergenggam di masing-masing tangan mereka. 

Hening.

"Assalamualaikum Wr. Wb."

Kak, 
Kami, berdiri di sini.
Berjejer, berdampingan.
Membawa sebuah harapan baru, bagaikan lilin putih ini.

Tapi, tahukah kalian?
Lilin tak akan bisa menyala tanpa api.

Pats.

Api menyala dari ujung sebelah kanan. Perlahan merembet ke setiap batang lilin yang dibawa oleh kesebelas orang yang berdiri berjejer itu. 

Karena api, lilin memiliki fungsi. Memiliki sebuah arti.
Tanpa api, lilin hanyalah sebuah batang putih tanpa kehidupan.
Begitu juga harapan yang tumbuh dalam diri kami.
Hanya akan menjadi harapan kosong.
Kami butuh, lilin ini butuh, seseorang, sebagai api untuk menyalakan, menghidupkan, dan membimbing kami.

22 batang itu mulai memancarkan cahayanya. Menyala. Terang. Di tengah gelapnya malam.

Lambat laun, satu persatu, lilin itu akan semakin bersinar.
Seiring dengan berjalannya waktu.

Lilin itu kami.
Para generasi baru yang berdiri tegak, siap menerangi dengan cahaya.
Membimbing smansa, menjaganya di jalan keislaman.

Namun, lilin tak akan selamanya hidup, Kak.
Angin-angin itu siap bertiup kapan saja, meredupkan -bahkan mematikan pancaran cahaya itu.

Sebelas sosok itu serentak berbalik badan. Meletakkan sumber penerangan yang mereka bawa ke dalam sebuah tabung yang tebuat dari kertas minyak yang telah terlebih dahulu disiapkan.

Tapi ada lampion.
Tempat dimana lilin-lilin itu dapat berlindung.
Melindungi api-api itu agar tetap menyala.

Cantik bukan, kak?

Dan coba lihat.
Lilin dan lampion saling melengkapi.
Lampion memancarkan keindahan dan memberi kekuatan bagi lilin-lilin kecil di dalamnya.

ZRASH.

Api tiba-tiba bergejolak dari ujung kiri. Lelehan lilin yang cepat membeku itu rupanya tidak cukup kuat untuk menahan batang yang diletakkan di atasnya. Batang itu tumbang -jatuh. Puncak kepalanya dengan segera menyambar lampion yang terbuat dari kertas minyak di sekitarnya. Dalam waktu beberapa detik, tabung itu telah lenyap. Api berkobar semakin besar -melalap dan juga menyambar lampion di sebelahnya.

Riuh mulai terdengar dari kumpulan orang di depan kami.

Nggak, nggak berani lihat.

Gagalkah? 

Lampion itu adalah kalian.
Keluarga besar DKM Ar-Rahmah.
Saling melengkapi, berbagi, dan melindungi.

Kobaran api telah lenyap. Hening, lagi.

Kelak, kami akan menjadi penerus DKM Ar-Rahmah ke depannya.
Sebagai lilin yang menerangi DKM Ar-Rahmah dan keluarga besar sekolah yang kita cintai.

Kak, kami melakukan ini semua, karena kami, kalian, kita semua, cinta DKM.

ALLAHU AKBAR!

Riuh terdengar. Tepukan tangan dan seruan takbir itu menyingkirkan keheningan yang sedari tadi menemani atmosfer kami. 

Ah, sudah berakhir, ya?

Nggak berani menatap berpasang-pasang mata yang berkumpul di hadapan kami. Bahagiakah mereka? Atau kecewa? 

Sampai sekarang masih nggak bisa menyimpulkan. Berhasilkah kami?

Ya, tapi hal itu memang di luar rencana. Nggak bisa menyalahkan siapapun -dan memang nggak ada yang bisa disalahkan. Kalian hebat, teman. Makasih ya udah mau meluangkan waktu buat bantu bikin lampion. Makasih atas usahanya untuk melancarkan acara ini. 

Hontou ni, arigatou. Jeongmal gamsahamnida, chingudeul :)



--ditulis dengan dipengaruhi kerinduan yang mendalam pada dunia perfanfic an. haha. jadi kayak cerita gini postnya. aaaah. aku kangen gaya nulis kayak gini. pengen nulis lagi. pengen bisa bikin cerita lagiii. 

You May Also Like

0 comments